12/05/2007

Untukmu...

KAU YANG TERKASIH MESKI BUKAN KEKASIHKU

"Kemana kita kencan malam ini ?", tanyamu sambil mengedipkan sebelah mata menggoda.
"Nggak tau, liat ntar kita dapet bis apa", kujawab dengan nada sedikit manja.
Kita kencan kembali malam ini. Meski hampir seluruh sudut Kairo sudah pernah kita jelajahi namun tiap kali kita kencan selalu saja terasa berkesan. Mmhhh…mungkin memang begini yang slalu dialami oleh orang yang sedang bercinta. Tapi kita tak sedang bercintakan ??.
Hampir seperempat jam kita berdiri di mahattah. Setiap bis ataupun angkutan yang lewat masih belum pas untuk dijadikan pilihan tujuan. Masuk menit ke dua puluh, aku melihat bis 611 jurusan tahrir. Kutawarkan padamu. Kaupun menjawab "Ke nil donk?!, boleh juga". Dan kitapun beranjak.

Untuk sementara kita terpaksa berdiri karena penumpang yang lumayan penuh. Sudah terbiasa bagi kita berdiri berdesakan diantara deretan sesak penumpang. Tak selang berapa lama, satu kursi bisa kududuki. Disamping cewek mesir yang berwajah kelelahan. Bersandar di jendela dengan mata terpejam.

Kamu masih harus berdiri disampingku. Tak banyak yang kita lakukan selama perjalanan. Masing-masing menikmati perjalanan sambil melepaskan angan terbang entah kemana. Sampai didaerah Abbasiyah aku menoleh kebelakang. Ternyata kau sudah mendapatkan tempat duduk. Kembali aku mengembarakan anganku. Mencoba menikmati suasana pinggir jalan atau ragamnya penumpang yang naik turun dalam bis itu.

Di jalan belokan menuju kubri abbasiyah, tampak sepasang suami istri beserta tiga anaknya menaiki bis yang kutumpangi.

"Hadaiq ya baba !!", sang anak lelaki merengek manja pada sang ayah.

Sepertinya keluarga ini sedang mengadakan rihlah keluarga. Dan anak lelakinya menginginkan taman sebagai tempat tujuan. Nuansa lebaran banyak kulihat gerombolan orang-orang dari sepasang kekasih, sekelompok anak-anak remaja dan keluarga mengadakan rihlah. Taman merupakan tempat yang menjadi pilihan favorit. Disamping murah, sepertinya mayoritas masyarakat Mesir sangat menikmati duduk diatas rumput hijau.

Di daerah kubri Abbasiyah, rombongan keluarga itu turun. Aku coba nengok keluar, melihat kemungkinan ada taman di daerah sekitar situ yang menjadi tujuan keluarga tersebut. Namun tak kutemukan. Ah…mungkin disudut lain. Yang tak terlihat dari jalan.

Perjalanan dilanjutkan. Masuk Ramsis, mahattah pusat di Kairo, ada satu deret kursi yang kosong. Aku pindah, kaupun pindah duduk disampingku. Dan kitapun dapat berbincang untuk menghilangkan jenuhnya kemacetan dalam perjalanan.

"Ngeliat pinggiran jalan Mesir kayak gini, aku jadi inget daerah Surabaya. Pinggiran jalan kalo aku naik kereta juga kayak gini. Kawasan kumuh", aku memulai obrolan.

"Iya. Di daerah Metro Surabaya juga kayak gini", kau menanggapi dengan melempar pandang keluar jendela. Dipinggir jalan yang sama dimana mataku memandang.

Pembicaraan berlanjut. Tentang berbagai hal yang kita amati diluar jendela atau pengalaman-pengalaman kecil yang pernah aku atau kau alami. Kita memang tak pernah kehabisan kata untuk berbincang. Tentang apa saja. Bahkan meski cuma joke-joke kecil yang membuatku slalu ingin mencubitmu, memukul pelan lenganmu atau sedikit merajuk saat kau bercanda dengan membohongiku.

Memasuki kawasan mahattah Tahrir, ternyata bis tidak masuk ke dalam mahattah. Hanya lewat diluar. Kau mengajakku makan dulu sebelum jalan-jalan di pinggiran sungai Nil.

"Sebelah sana kayaknya ada math'am Mesir. Kesana aja yuk!!", ajakmu. Akupun cukup menganggukkan kepala tanda setuju.

Turun dari bis jalanan sangat macet. Kau genggam tanganku membimbing untuk menyeberangi jalan, melewati deretan mobil. Kau sangat tahu kalau aku paling takut menyeberang jalan.
Ternyata deretan yang kau sebut math'am itu adalah deretan toko bunga dipinggir jalan. Saat aku tahu ternyata kamu salah lihat, spontan aja aku ngakak.

"Kamu laper banget yah ? masak ngeliat toko bunga dikira penjual makanan sih", kau cuma nyengir mendengar gurauanku. Kita coba telusuri jalanan itu, namun tak ada tanda-tanda disekitar situ ada math'am Mesir.

"Ya udah, kita beli camilan", usulmu. Melewati belokan kau tiba-tiba berhenti. Untuk menuju pinggiran nil kita harus ambil jalan lurus. Namun kulihat kau lebih tertarik untuk masuk ke belokan yang aku nggak tahu menuju kemana.

"Ke arah sana yuk!!".

"Kemana itu ? Aku nggak ngerti jalan itu arahnya kemana …!"

"Udah jalan aja, sekalian biar tahu tempat sini ", kau tetap memaksa sambil menggenggam erat tanganku. Akupun terpaksa mengikuti langkahmu. Lumayan banyak orang berlalu-lalang dikawasan itu. Gedung disamping jalan sepertinya sebuah hotel. Dan diseberang jalan di dalam belokan itu, kulihat sepertinya mall. Kau mampir ke baqalah di dekat parkiran mall tersebut. Membeli dua bungkus coklat molto seharga 2.50 LE. Kau mengumpat kecil karena harga molto yang agak mahal dibanding di baqalah dekat rumahmu. Aku cuma tersenyum melihat polahmu.

"Tertarik masuk ?", tanyamu saat kita berdiri di depan mall yang tak kuketahui namanya itu.

"Enggak ah…nggak menarik kayaknya", jawabku sambil hendak berbelok menuju jalan semula.

"Eh…itu kayaknya toko souvenir. Liat-liat yuk!!", aku menunjuk salah satu stand yang tak sengaja kulihat diluar pintu utama mall.

Kita pun masuk. Melihat-lihat pernak-pernik didalam stand tersebut. Ada tas rajutan menarik digantung didepan kasir.

"Bagus nggak ?", aku bergaya didepanmu sambil menenteng salah satu tas rajutan yang berwarna hitam. Sambil menikmati molto yang kau beli, kau memandang dengan gaya seolah-olah memberikan penilaian keserasian tas itu dengan penampilanku.

"Lumayan. Tanya berapa harganya !".

"Kem da ya rais ?" tanyaku pada kasir. Sambil menunjukkan tas rajut yang kupilih.

"Khomsa wa arba'iin", jawabnya.

"Lumayan. Daripada bikin sendiri. Susah. Hehehehe…", sautku.

"Nggak kok!Nggak susah. Aku bisa bikin sendiri kayak gini", komentarmu dengan penuh percaya diri sambil mengamati seksama bagaimana model rajutan tas itu..

"Oh ya ?. Kalo gitu bikinin aku tas kayak gini buat hadiah ultahku yah!", tantangku.

"Gampang kok! Ini pake salah satu simpul yang dulu pernah aku pelajari di pramuka", kau semakin yakin kalau kau bisa membuat tas yang serupa. Aku cuma tersenyum tak menanggapi lagi.

Aku lanjutkan melihat-lihat di tempat-tempat yang lain. Dan kau masih serius memandang model simpul tali yang digunakan untuk membuat tas itu.

Sampai di tempat souvenir gelang-gelang aku berhenti, tertarik untuk memilih beberapa model gelang yang dipajang.

"Gelang yang biru itu bagus kayaknya", tiba-tiba kau berkomentar dibelakangku. Kulihat harganya. Tertera 4.50 LE.

"Enggak ah…norak!", komentarku. Aku pun berpindah ke tempat gelang-gelang diseberangnya.

"Cantik ya gelangnya ?", kutunjukkan gelang tali yang lumayan cantik padamu. Meminta pendapatmu.

"Bagus. Tertarik ?", tanyamu.

"Kamu mau nggak kalo kita beli kembaran ?", aku menawarkan padanya untuk beli dua.

"Nggak usah. Yang itu lebih gentle gelangnya", kau menunjuk salah satu gelang bercorak loreng hijau bertuliskan DIESEL ditengahnya. Kau ambil dan kau coba.

Puas memilih gelang, kita beralih melihat-lihat souvenir untuk hiasan. Nggak tertarik. Aku memilih untuk melihat-lihat pin yang digantung di atas tempat cincin-cincin. Kau pilihkan aku satu pin bertuliskan EGYPT. Langsung kuserahkan ke kasir gelang dan pin yang kupilih. Tak sengaja kau melihat-lihat souvenir korek api yang unik. Tertarik, akupun memilihkan satu korek api untukmu yang bergambar khas mesir dan bertuliskan EGYPT. Keluar dari mall kau bersungut-sungut menyumpah. Harga korek api yang kau pilih ternyata di luar dugaan. namun selang beberapa detik, kau tiba-tiba berkata "Nggak pa-pa...udah terbayar kok".

"Terbayar apanya ? ", tanyaku, tak mengeri maksud ucapanmu.

"Nih...terbayar dengan ini kemahalan korek tadi", kau menjawab ringan sambil nunjukin gelang yang kau pakai. Astaghfirullah...ternyata gelang yang bertuliskan DIESEL, yang iseng kau coba tadi, masih melekat di pergelangan tanganmu.

"Kembaliin cepet !!", bentakku. namun kau tetap melenggang cuek.

"Aku nggak ada niatan mo nyuri kok, tadi cuman mo nyobain gelangnya. Nggak taunya lupa ngelepas, ingetnya barusan. Nggak usah dibalikin sekalian, sekalian sebagai ganti harga korek yang mahal itu", kau menjawab dengan entengnya. Aku cuma bisa geleng-geleng kepala ngeliat tingkahmu. Untung nggak ketahuan satpamnya, batinku.

Keluar dari toko souvenir itu, kita melanjutkan perjalanan ke pinggiran sungai nil. Sungai legendaris negeri seribu menara.

"Udah lama aku nggak jalan-jalan ke nil", gumammu. Tiba-tiba kau bertepuk tangan keras-keras sambil berteriak.

"Niiiiiiiiiiil…aku datang lagi sekarang!!! Kencan dengan kekasihku…!!!", sambil berteriak kau merangkul pundakku. Hemmmpphh…bikin nerveus aja sih!! Gerutuku sambil tersenyum bahagia. Meski aku tahu bahwa kita bukan sepasang kekasih, hatiku tetap berbunga-bunga.

Baru sampai seberang nil, kulihat ada orang berjualan ruz billaban. Kutawarkan padamu untuk sekedar mengganjal perut. Dan kaupun setuju. Sambil menikmati ruz billaban, aku perhatikan keadaan sekeliling. Begitu ramai. Sesak. Penuh. Musim lebaran mungkin ya…jalan-jalan di pinggir nil adalah tempat yang asyik dan murah. Tapi kalau ramai seperti ini bagaimana bisa menikmati indahnya sungai nil malam hari ?!

Selesai makan kita lanjutkan perjalanan. Benar-benar sesak penuh manusia. Kau menggenggam erat tanganku sambil berjalan bersisian, kadang kau didepanku atau sebaliknya. Untuk beberapa saat kita hanya berjalan menerobos lalu lalang manusia. Sampai kemudian kita temukan satu pagar yang lumayan tak begitu sesak di pinggir sungai nil. Dari situ pandangan kita bebas berkelana. Memandang lalu lalang kapal-kapal kecil yang penuh kerlip lampu dan musik yang begitu nyaring bahkan berisik menurutku. Kita diam untuk sesaat. Menikmati suasana nil di malam hari.

"Aku dapet tugas nulis cerpen di SAPi. Untuk presentasi kajian yang akan datang. Aku nggak tau mo nulis apaan", ku awali percakapan kita yang beberapa saat lalu sempat membisu.

"Perhatikan di depan sana", katamu sambil menunjuk di atas hamparan sungai nil. Ku ikuti arah tanganmu dengan pandangan mataku.

"Disana ada gelombang air yang beriak karena getaran kapal yang lewat, kapal-kapal kecil yang penuh kerlip lampu yang bermacam-macam bentuknya. Musik-musik yang mengiringi perjalanan singkat penumpang…", kau mencoba menggambarkan keadaan sekitar kita. Dengan gaya tanganmu yang bergerak-gerak, seolah-olah kau menggambarkan sesuatu yang sangat menarik dan menakjubkan.

"Diseberang sana, menara begitu kokoh berdiri seakan menjadi pengawas aktifitas nil di setiap saat. Kapal-kapal besar dan elit terlihat begitu angkuh berjejer di kelilingi taman indah di gerbangnya. Jembatan yang juga penuh sesak manusia yang sama-sama menikmati angin malam…", kau kembali terdiam. Mungkin hendak menghirup inspirasi yang lebih mendalam.

"Perhatikan semua yang sudah aku tunjuk", kata-katamu sepertinya memberikan sebuah perintah yang tak bisa dibantah. Hening beberapa saat. Aku mengikuti perintahmu. Mengkopi semua apa yang tampak dimataku. Dengan penuh penghayatan, mencoba menghadirkan sebuah ide untuk tugasku.

"Udah dapet ?", tanyamu. Aku masih tetap berada dalam konsentrasi menghadirkannya dalam sebuah ide. Selang beberapa saat…

"Udah. Dapet!!", kataku. Sambil beranjak meninggalkan pagar.

"Mau kemana ?", kau bertanya sambil mengikuti langkahku.

"Ke taman di depan mugamma' yuk!", ajakku.

"Dimana itu?", tanyamu. Aku berhenti seketika.

"Kamu nggak tau mugamma' ?", aku balik bertanya padamu. Ngerasa nggak yakin kalau kamu memang benar-benar belum tahu mugamma' itu tempat apa. Kau jawab dengan gelengan kepala mantap.

"Ntar aku tunjukkin. Pokoknya didepan mugamma' itu ada taman, kayak bundaran UGM ato HI gitu. Trus disampingnya ada kampus American University. Bagus dech pokoknya", tanpa komentar kau ikuti langkahku menuju tempat yang aku sebutkan.

Untuk menuju ke tempat yang aku tunjukkan itu, kita harus menyeberang jalan. Salah satu hal yang paling aku nggak suka. Tak jarang saat nyebrang seperti itu kau menggodaku. Kau tiba-tiba berhenti dan kembali ke pinggir saat aku pasang kaki untuk melangkah ke tengah jalan, atau tiba-tiba kau melesat lari meninggalkan aku yang kemudian berteriak-teriak kengerian. Kau slalu bersikap seperti itu. Slalu ada saja hal-hal yang kau lakukan untuk membuatku berteriak. Kau slalu penuh dengan kejutan. Dan itu yang semakin membuatku merindukan saat-saat bersamamu. Meski kita bukan sepasang kekasih.

Setelah menyeberang dua jalan, kita menyisiri jalan didepan sebuah gedung. Gedung putih yang setiap kali aku lewat disitu, aku slalu ingin tahu gedung apa itu. Tapi tak tahu harus bertanya pada siapa.

Dibalik gedung itu, atau tepatnya dibelakang gedung itulah taman yang aku sebutkan itu berada. Disamping kanan gedung tersebut terdapat sebuah masjid dan diseberang jalannya berdiri gedung mugamma'. Didepan gedung mugamma' terdapat tempat-tempat duduk dan tangga kebawah menuju mahattah metro anfaq. Masih dalam kawasan gedung mugamma', terdapat lapangan kecil yang digunakan anak-anak kecil bermain bola. Dan disekitar lapangan itu, tak sedikit pasangan-pasangan sejoli yang sedang memadu kasih.

Kau memilih tempat dipinggir lapangan untuk duduk. Sambil nonton mereka bermain bola, aku tunjukkan padamu gedung American University diseberang jalan sana. Dengan hpmu, kau abadikan kampus itu. Tak tahu juga untuk apa.

Kita duduk. Diam. Memperhatikan permainan bola bocah-bocah ditengah lapangan.

"Aku dulu main bola, pake bola yang kayak dipake anak-anak itu, waktu aku udah duduk dibangku SMP", kau memulai pembicaraan dengan tema bola. Aku diam menyimak. Menunggu kelanjutan ceritamu.

"Dari kecil aku slalu pake bola plastik", lanjutmu. Lalu ceritamu mengalir. Tentang masa kecilmu. Saat kau menangis meraung-raung dibawah kolong tempat tidur hanya gara-gara orang tuamu tak meluluskan permintaanmu untuk beli mobil-mobilan seharga 5000 rupiah. Tentang betapa takutnya kamu meminta sesuatu kepada orang tuamu, meski itu untuk kebutuhan sekolahmu. Tentang bagaimana orang tuamu mendidik dan membentuk karaktermu. Hingga membentuk satu kesimpulan dalam dirimu. Bahwa itu memang sikap yang terbaik yang dilakukan orang tuamu untuk masa depanmu.

"Ntar anakmu juga bakal kamu didik kayak masa kecilmu ?", kutanyakan hal itu disela-sela kisahmu.

"Iyalah. Pasti itu. Apalagi kalau dia cowok. Biar nggak manja", kau menjawab dengan mantap.

Tak cuma mendengar, terkadang kau juga memintaku bercerita tentang pengalaman-pengalamanku. Masa kecilku dan cita-citaku.

………………………………………........................................

Sebenarnya ingin ku lanjutkan kisah ini, namun takdir berkata lain. Cukup disini kebersamaan kita. Takkan ada lagi malam-malam kencan indah kita. Takkan ada lagi genggaman erat dan suguhan kisah-kisah masa kecilmu. Takkan ada lagi bentakan-bentakan kecil dan keluh kesahmu. Takkan ada lagi bahu sehangat bersandar dibahumu.

Jalan-jalan penuh kenangan itu, hanya bisa menjadi saksi bisu perjalanan kita. Rumah suq madrasah, rumah musallas, rumah gami', rumah bawabah 3, Wonderland, hadiqoh Azhar, Husein, Bismillah, Oriental, Resto Nil, Sarag Mall, Geneina Mall, math'am-math'am ala mesir, mathrouh, agibah, Sinai, syarm el syeikh, Sungai Nil dan seluruh penjuru kota Kairo menjadi saksi bisu atas kebersamaan kita. Aku tak tau…apakah aku mampu mendatangi kembali tempat-tempat itu, melewati kembali jalan-jalan itu. Kalopun mampu, maka bayangmu yang kan slalu menemaniku.

Berjuta-juta kata yang tertuang dalam lembaran kertas ini, tak pernah cukup untuk mewakili kisah kita. Karena disana, dalam kisah kita, ada berjuta rasa, berjuta warna dan selaksa keindahan. Meski tak tertampung dalam lembaran-lembaran ini, yang pasti kisah kita slalu terpatri dihati.

Hay sabi' Winter, awal bulan Desember 2007

1 komentar:

ashar erwe mengatakan...

Wow, mbak Laili aku suka gaya berceritanya, kenapa gak dikembangkan jadi novel aja Mbak? Meski sudah ada novel2 yang berlatar mesir tapi panjenengan punya style sendiri kok. Gak ada salahnya dicoba